September 9, 2024

Kritik Muncul Atas Aturan BI soal Kewajiban Penyaluran Kredit Bank ke UMKM

0

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) baru saja mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perbankan menyalurkan pembiayaan atau kredit ke-UMKM minimal 20 persen pada tahun 2022. Selanjutnya, target penyaluran kredit meningkat menjadi 30 persen pada 2024. Keluarnya kebijakan yang kontrapoduktif tersebut langsung dikritik berbagai pihak. Alasannya, peraturan tersebut memberatkan dunia perbankan dan memunculkan risiko baru bagi bank.

Aturan terbaru tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. Beleid ini mengubah kewajiban perbankan terhadap besaran RPIM yang harus dipenuhi secara bertahap dalam tiga tahun ke depan.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Juda Agung mengatakan, lewat beleid baru tersebut, besaran RPIM yang harus dipenuhi secara bertahap dalam tiga tahun ke depan adalah minimal 20 persen hingga akhir Juni 2022 dan akhir Desember 2022. Kemudian naik menjadi minimal 25 persen pada posisi akhir Juni 2023 dan posisi akhir Desember 2023. Lalu minimal, sebesar 30 persen dari posisi akhir bulan Juni 2024.

Juda mengungkapkan, tidak hanya besaran RPIM yang diubah, lewat beleid tersebut pihaknya juga melakukan penyempurnaan kebijakan RPIM melalui perluasan target pembiayaan inklusif. Nantinya perbankan tidak hanya menyalurkan pembiayaan inklusif pada UMKM saja, namun bisa mendorong pembiayaan bagi perorangan berpenghasilan rendah (PBR) serta koperasi UMKM.

Lewat beleid ini, lanjut Juda, BI Juga memperluas mitra bank. Penyaluran kredit ke UMKM bisa dilakukan dengan misalnya menggandeng fintech atau lembaga lain seperti PNM dan Pegadaian. Terakhir, beleid ini juga memperluas akses pembiayaan inklusi.

Kritik atas kebijakan tersebut langsung keluar dari Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Aviliani. Ia menganggap, kebijakan tersebut justru bisa tak terserap oleh UMKM itu sendiri.

Menurut Aviliani, saat ini UMKM yang naik kelas tiap tahun terbilang lambat dan berpotensi sulit melunasi kreditnya ke bank. Selain itu, kondisi ekonomi juga belum sepenuhnya membaik.

Selain itu, lanjut Aviliani, jika pertumbuhan ekonomi mulai bangkit pada 2023, bisanya permintaan pembiayaan ke sektor infrastruktur juga tinggi. Kondisi ini bertolak belakang dengan kecilnya jumlah UMKM yang naik kelas. Karenanya, Aviliani minta BI meninjau lagi aturan lagi.

“Bahayanya terutama bank BUKU III dan BUKU IV, begitu dia harus biaya infrastruktur, (kredit) 30 persen ada yang serap enggak? Karena kalau kita lihat kenaikan kelas UMKM sangat lambat, takutnya dipaksakan dan enggak terserap. Apalagi ada denda juga ke bank,” ungkap Aviliani, beberapa waktu lalu.

Demikian juga dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang langsung mengingatkan atas kebijakan kredit tersebut. Menurut OJK, harusnya disesuaikan ke masing-masing perbankan.

Direktur Penelitian Bank Umum OJK, Mohamad Miftah mengatakan, risiko gagal bayar memang harus dihadapi perbankan saat menyalurkan kredit. Namun, saat memberikan kredit, bank juga pasti menghitung risikonya.

“Ketika menyalurkan kredit, bank tentu menghadapi risiko kredit itu bisa kembali atau tidak. Mau ke mikro, menengah, atau perusahaan besar. Makanya kita tetapkan bobot risiko. Nah, itu harus diimbangi dengan penyediaan modal,” kata Miftah saat webinar FE Unpad dan OJK, Kamis (09/09/2021).

Menurutnya, modal itu yang harus dibentuk oleh bank untuk bisa menjaga kemungkinan kerugian tidak tertagihnya kredit tersebut. Ia meneruskan, untuk risiko gagal bayar bank juga sudah mencadangkan alokasi dana untuk kerugian.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memberikan respons terkait kewajiban perbankan menyalurkan pembiayaan atau kredit ke UMKM minimal 20 persen di Juni 2022. Belum lagi, rasionya terus meningkat menjadi 30 persen pada 2024.

Wimboh menegaskan, aturan tersebut semestinya tetap memperhatikan kesiapan dan business plan masing-masing perbankan. Saat ini, masih banyak bank-bank yang rasio pembiayaan UMKM di bawah 30 persen. Hanya sedikit bank yang rasio pembiayaan UMKM di atas 30 persen.

Target rasio tersebut dilatarbelakangi karena bank membiayai proyek strategis yang cukup besar. Seperti infrastruktur, mining dan lainnya. Sementara pembiayaan ke UMKM masih kecil.

Namun, pembiayaan itu diatur dan disesuaikan dengan model bisnis masing-masing bank. Bank yang model bisnisnya khusus UMKM maupun korporasi pun akan tetap didukung otoritas.

“Kalau ada bank yang sudah besar porsi UMKM-nya ya kita dorong terus untuk tetap tinggi. Jika ada bank yang khusus di sektor korporasi, didorong juga tetap fokus seiring dengan penyaluran ke UMKM,” kata Wimboh.

Ia melanjutkan, jangan sampai karena untuk memenuhi target 30 persen UMKM, perbankan justru asal menyalurkan kredit, kemudian melupakan kredit sektor lain.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto usia mendampingi Presiden dalam pertemuan dengan perwakilan direktur utama bank di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (8/09/2021) mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi penambahan penyaluran kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) oleh perbankan yang mengalami peningkatan. Menurut Airlangga, presiden juga berharap penyaluran kredit tersebut bisa terus ditingkatkan hingga mencapai angka 30 persen secara nasional pada 2024.

“Target 30 persen merupakan angka keseluruhan dari kredit nasional, bukan target yang dibebankan kepada masing-masing perbankan. Presiden memahami  setiap perbankan memiliki spesialisasi bisnis masing-masing. Seperti di BRI itu mendekati 70 persen dan ada yang spesialisasinya corporate. Bapak Presiden meminta agar keseluruhan kreditnya itu adalah 30 persen, bukan berarti setiap banknya harus 30 persen karena masing-masing punya spesialisasi sendiri-sendiri,” papar Airlangga.

Pada pertemuan tersebut, para direktur perbankan mengutarakan usulan terkait pencadangan terhadap kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). Para direktur menyampaikan diperlukan harmonisasi antara standar akuntansi berbasis Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terhadap NPL.(****)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *