Kemasan Plastik Sekali Pakai Jadi Ancaman Implementasi Ekonomi Hijau
JAKARTA – Peta jalan transformasi ekonomi hijau yang menitikberatkan pada pengurangan penggunaan sampah plastik jadi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target pengurangan sampah plastik hingga 70% pada 2025. Penggunaan air minum kemasan sekali pakai menjadi ancaman terhadap komitmen tersebut. Karena, bertentangan dengan hierarki utama penanganan sampah, yakni mengurangi sampah plastik.
Dalam konteks ekonomi hijau dan penyelenggaraan G20, Indonesia tidak hanya sekedar sebagai ketua presidensial. Namun, juga menjadi leader dalam menentukan arah ekonomi global. Terutama berkaitan dengan pelaksanaan ekonomi hijau secara global.
“Ekonomi hijau yang bermuara pada ekonomi sirkular menjadi pembahasan utama dalam G20. Arah global menuju ekonomi hijau ini bukan lagi menjadi pilihan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan seluruh negara anggota G20, termasuk Indonesia. Indonesia bukan sekadar menjadi ketua, tetapi harus menjadi pemimpin terdepan dalam ekonomi hijau,” kata Rofi Alhanif, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk “Menuju Transformasi Ekonomi Hijau: Tantangan dan Solusi,” yang diselenggarakan Pusat Studi Manajemen dan Bisnis (LMFEB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta sebagai rangkaian kolaborasi memperingati Hari Sampah Nasional 2022 di Jakarta, Rabu (16/03/2022).
Selain Rofi, hadir pula pembicara lain seperti Fungsional Ahli Madya Pedal Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Edward Nixon Pakpahan, Guru Besar FEB Universitas Padjadjaran Martha Fani Cahyandito, dan Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Sekretariat Kabinet Roby Arya Brata.
Sementara itu, Edward mengungkapkan, salah satu tantangan utama dalam ekonomi hijau adalah persoalan sampah. Secara global, sampah dunia mencapai 3 miliar ton. Sedangkan hanya sepertiga yang berhasil diolah kembali. Sementara itu, tahun 2021, jumlah sampah di Indonesia hampir mencapai 70 juta ton dan trennya akan terus naik.
“Hierarki tertinggi dari konsep penanganan sampah adalah mengurangi sampah. Semua pihak, terutama produsen, diharapkan bisa membantu masyarakat dengan produk yang bisa mengurangi timbulan sampah,” katanya.
Seperti diketahui, belakangan ini ramai diberitakan beberapa pihak berupaya mendorong Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai. Selama ini, masyarakat terbiasa menggunakan kemasan galon guna ulang.
Ditambahkan Edward, dalam konteks penanganan sampah, air minum dengan galon sekali pakai tidaklah dianjurkan. Hal tersebut bertentangan dengan prioritas penanganan sampah berbasis mengurangi dan membatasi penggunaan sampah plastik. Dengan konsep tersebut, akan semakin banyak timbulan sampah untuk diolah.
“Kebijakan yang mendorong air minum kemasan galon sekali pakai harusnya dipertimbangkan kembali. Kita tidak dukung yang sekali pakai. Usahakan yang bisa digunakan kembali,” kata dia.
Sejalan dengan itu, Martha Fani Cahyandito menjelaskan, kesehatan menjadi salah satu faktor penting dalam ekonomi hijau, setara dengan penanganan sampah berbasis ekonomi sirkular. Namun, kebijakan yang sifatnya multidimensi dan multisektoral harus bisa menjaga kepentingan bersama, prioritas utama yang sudah ditetapkan dan tidak merugikan banyak pihak.
“AMDK galon sekali pakai otomatis akan menambah timbulan sampah plastik, harus dapat dipikirkan dampak menyeluruhnya, baik dari sisi lingkungan, infrastuktur pengolahan, persaingan usaha termasuk industri yang bergantung dari keputusan ini, dan dampak ekonominya seperti kepada UMKM dan tenaga kerja. Harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini bersama,” tegasnya.
Menurut Rofi, sampah plastik telah menjadi perhatian besar dalam ekonomi hijau. Faktanya, saat ini sampah plastik Indonesia di laut mencapai 6,8 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 10% yang didaur ulang dan 20% yang berakhir di TPA. Sementara itu, sisanya bakal menjadi sampah yang bocor ke sungai dan laut.
“Karena itu, dengan target pengurangan sampai hingga 70% pada 2025, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk mengurangi penggunaan sampah plastik di darat sehingga tidak bocor hingga ke laut,” katanya.(****)